Sebagai seorang pendeta di gereja yang anggotanya mayoritas mutlak Batak, dan sebagai laki-laki Batak yang sudah menikah, tidak bisa tidak, saya seringkali menerima undangan untuk menghadiri pesta adat batak khususnya pernikahan. Namun jujur, saban-saban menerima undangan saya selalu menarik nafas dan membutuhkan waktu yang lama untuk memutuskan datang (walau telat atau sekadar setor muka sesaat, atau memilih hanya hadir di pemberkatan di gereja saja). Kalau saya tidak datang, apalah nanti kata orang. Masa pendeta tidak datang ke pesta anggota jemaatnya apalagi saudaranya (catatan: istilah saudara di batak seperti tali jemuran di kampung yang bisa sangat panjang dan berbelit-belit). Tapi kalau datang, saya tidak sanggup lagi menghadapi suasana bising dan berisik, kepala saya pusing dan saya selalu kehilangan nafsu makan bila sambil makan dibombardir teriakan 2(dua) protokol dari dua pihak yang entah kenapa selalu berbicara pada saat yang sama. Belum lagi ditambah suara musik dan lagu yang memekakkan telinga (perasaan saya mik itu “dibondut” oleh si penyanyi dan volume soundystem disetel sekeras-kerasnya). Saya suka menuduh dalam hati kayaknya si penyanyi sengaja menyanyi kuat-kuat agar saya tidak bisa lagi ngobrol asyik dengan teman yang duduk dekat saya padahal reuni itulah selalu jadi tujuan kedua (kadang pertama) saya datang ke pesta. Sebab itu bila datang ke pesta, saya selalu mencari meja yang jauh dari speaker, tetapi “sedihnya” seringkali speaker itu ada dimana-mana. Kalaupun tempat yang bebas dari gangguan speaker hitam itu ada, maka tempat itu begitu tersembunyi dan jauh dari pelayan apalagi dari menu khusus di botol2 hijau yang entah kenapa beredar terbatas di meja-meja “raja-raja” adat.
Namun penderitaan saya belum komplit. Seringkali pesta batak itu baru mulai makan sesudah pukul 1 atau bahkan 2 siang, karena para hula-hula dan tulang masih harus disambut dengan manortor. Pihak suhut akan berjalan mundur dengan penari bayaran dengan tangan dikatup menyembah, sementara rombongan hula-hula akan berjalan gagah dengan ikan mas bergoyang-goyang di depannya. Biasanya pada momen ini saya akan termenung sendiri mengingat ibu saya yang sudah berusia 79 tahun dan memilih menyepi di Cibinong dan hampir tidak mau lagi menghadiri pesta pernikahan. Saya tahu betul dia sangat tidak suka pemandangan itu. Menurut ibu saya yang uzur itu adat yang benar: ikan mas pemberian hula2 harus dimasukkan ke tandok (sumpit pandan) dialasi nasi dan dijunjung santun di atas kepala, bukan dipamer-pamerkan telanjang. Dan penari2 bayaran itu benar-benar tidak masuk ke akalnya. Ya sudahlah. Jaman berubah. Ibu saya kalah. Namun saya akan senyum sendiri membayangkan bagaimana seandainya Raja Salomo yang diceritakan Alkitab punya istri 1000 orang berpesta atau mar-ulaon dan harus manortor maju-mundur menyambut seluruh hula-hulanya. Jam berapa makan baru bisa dimulai? Oala.
Kadang saking lamanya menunggu (sesudah menyambut hulahula masih ada acara pasahathon tudu-tudu sipanganon), orang2 di dekat saya duduk tak sabaran dan langsung makan sendiri. Saya seringkali salah tingkah. Perut saya sudah lapar, tetapi posisi saya sebagai “pendeta” apalagi “berjambang” yang sangat mudah dikenali di ruang publik membuat saya harus menahan rasa lapar dan tidak ikut2an makan duluan, sebab sedikit-banyak tingkah saya diam-diam diperhatikan, dan yang jelek-jelek dijadikan panutan atau pembenaran. Namun orang2 yang kebetulan duduk semeja dengan saya – dan mengenal saya sebagai pendeta – juga sering salah tingkah. Mungkin mereka sudah tak kuat lagi dan ingin makan duluan tapi segan karena saya masih menunggu perintah dari depan. Akhirnya saya kadang2 keluar saja pura-pura menelpon atau apalah, memberi mereka kesempatan mengambil keputusan sendiri dengan bebas. Pernah di suatu pesta berhubung lamanya acara makan dimulai sebagian besar tamu sudah makan duluan. Pihak suhut meminta saya memimpin doa makan dan saya tolak dengan halus, namun mereka tetap memaksa, akhirnya saya pun maju dan berdoa: “Ya Tuhan, berkatlah makanan yang sudah, sedang dan akan kami makan. Amin”.
Sejak kecil saya tidak doyan cabe, kepala saya langsung gatal2 bila makan cabe, tentu tidak enak menggaruk-garuk kepala sambil makan di pesta. Dan celakanya menu pesta batak itu persis sering dianggap seperti “hukum taurat” yang tidak boleh berubah satu titik pun. Makin lengkap sajalah penderitaan saya. Biasanya saya hanya mengambil sedikit ikan mas arsik kering (masakan ibu saya setahu saya arsiknya basah dan durinya lunak) dan acar yang kayaknya dipotong tanpa perasaan, kemudian kuah “sup polos” dan sedikit saja sangsang agar saya tidak dikatakan “tidak tahu adat”. Sambil makan pelan-pelan dibawah tekanan suara speaker, saya selalu melamun: kapankah saya punya duit yang banyak dan menyelenggarakan sebuah pesta dengan menu ikan mas goreng panas-panas, babi panggang serius, sup babi kacang merah diiringi lantunan piano yang lembut? Namun syukurlah Tuhan memang selalu tidak mau para pendeta hambaNya yang rendah ini terlalu menderita. Sering2 ada saja anggota punguan ina atau siapa yang datang ke meja dimana para pendeta dan sintua duduk menawarkan es puter yang diambilnya dari lantai 2 tempat parsubang. Lumayanlah sebagai hiburan. (Kadang2 bila ada teman sintua yang berani atau banyak naposo saya memilih makan di tempat parsubang saja – undangan tak makan babi – sebab di sana menunya lebih cocok untuk saya dan suasananya kurang berisik. Tapi kesempatan itu langka.
Namun tak ada yang tak berakhir di dunia ini termasuk pesta Batak. Sehabis makan, sebagaimana tradisi, adalah giliran memberi tumpak atau sokongan. Itulah saat yang saya nanti-nantikan. Jika kebetulan tak ada pendeta yang lebih senior, maka para sintua akan mendorong saya untuk maju duluan. Saya pun berjalan tenang sambil senyum-senyum. Suhut tampak gembira menerima salaman para undangan dan saya pun gembira menyalamkan tumpak saya kemudian berjalan mantap ke luar gedung pesta batak merayakan kembalinya kebebasan dan kenikmatan hidup saya.
Horas
Hahaha, terus terang saya membaca cerita anda Pak Pendeta, saya tersenyum-senyum sendiri.
BalasHapusMemang pada intinya anda benar kalau ditilik dan dikaji dari kacamata modern semua uneg-uneg anda diatas. Juga saya setuju ama Ibu anda yg masih sangat menjunjung adat asli (bukan modifikasi seperti yg banyak dilakukan orang batak belakangan ini, terutama Par-Jakarta, orang batak di Jakarta ini banyak sekali yg merasa pintar beradat batak, bahkan dengan gampangnya memodifikasi adat yg sudah jelas-jelas dibuat oleh Opung si jolo-jolo tubu kita, kita tuh tinggal menjalakan saja, tapi banyak yg ingin dianggap pintar, dengan tujuan masing2, cari namalah atau cari uang dsb).
Kembali ke pesta adat batak (terutama pesta perkawinan), saya rasa kalau ditilik dan dikaji dari kebatakan, maaf Pak Pendeta, mungkin anda kurang memberi roha anda terhadap kebatakan. Kenapa? Kalau kebatakan anda kuat (maaf sekali lagi), pasti anda dengan senang hati akan datang ke acara itu, dengan senang hati akan memaklumi segala kekurangan2 halak batak yg memang banyak kurangnya itu (seperti cerita anda diatas). Itulah kita batak Pak Pendeta, tidak bisa membawa maunya kita sendiri. dari kecil kita sudah dididik secara tidak langsung harus bersosial dengan semua saudara2 batak kita, bahkan bukan hanya yg batak saja malah. Itu sudah trade mark kita batak, bersosial, bahkan kadang harus rela sedikit makan hati demi perdamaian sesama batak, atau demi kelangsungan denggan nya sebuah acara adat.
Tapi saya pribadi senang hati melakukan semua itu, walaupun kadang2 terjadi gesekan2, itu sudah hal biasa di kita orang batak..
Maaf kalau ada kata2 yg salah Pak Pendeta. Tetap semangat, jadilah kita tetap Batak asli, bukan Batak modifikasi yg dengan bangga membuat marganya di belakang namanya, tetapi tidak tahu apa2 tentang tuturnya atau tarombonya (yg sangat banyak di Jakarta).. Mauliate..